Jumat, 20 April 2012

Ketika kita harus berubah menjadi aku dan kamu


            Senja mulai menua dan pelan pelan merayap ke peraduan sang malam sementara aku tetap disini, disebuah Gazebo tua yang diluarnya tumbuh banyak bunga menanti kamu, Iya kamu  yang senyumnya selalu menyapaku tiap malam dan menanamkan lebih banyak bunga dihatiku jauh lebih banyak dibanding bunga bunga yang tumbuh di sekitar Gazebo. 
            Dengan riang aku sudah membayangkan betapa senangnya kamu karena kejutan yang kusiapkan. Aku salah ternyata kamu tidak pernah berubah, kamu selalu membuatku terkejut duluan.
“ Maaf Lian, aku sangat mencintaimu tapi aku tidak bisa mengorbankan Ibu” itu kalimat terakhirmu sebelum pelan pelan aku mulai mendengar derap sepatumu menjauh meninggalkan  Aku yang sama sekali tidak pernah ingin membuatmu memilih setelah apa yang kita lalui lima tahun terakhir. Tidak ada kecupan lembut dikeningku dan tidak ada genggaman manis ditanganku seperti  yang biasa kamu lakukan. Yang ada hanya airmata takut kehilangan. 
Aku lemas sekali, rasanya tidak ada kalimat yang mampu kususun untuk menahanmu Sekalipun aku sangat ingin. Setelah berikrar atas nama cinta, ternyata kamu tetap milik ibumu, bukan miliku.
            Ibumu, tentu saja Beliau adalah wanita yang tidak layak disakiti, setelah dua puluh empat tahun  menjagamu seorang diri, mengajarkan banyak hal dari yang sepele seperti  garpu ditangan kiri dan sendok di tangan kanan sampai tentang bagaimana seharusnya hidup. Beliau sangat bijaksana meskipun Beliau tentu saja tidak mengajarkan untuk memilih wanita macam aku. Aaah aku selalu mendelik miris dan tidak bisa berani membayangkan betapa kecilnya aku disbanding Ibumu.
            Aku tidak bisa ikut bersamamu, tapi aku tentu mendoakan Ibumu tetap baik baik saja. Semoga  malaikat berbaik hati untuk menjaganya tetap di dunia.
                        ****
            Dua cangkir Cappuchino dan sekaleng biscuit susu, Biasanya adalah makanan faforit kita. Biasanya kita selalu menemukan banyak hal bisa didiskusikan. Biasanya sepulang kerja kamu akan bercerita tentang banyak hal yang kamu kerjakan di kantor . Biasanya kamu mengajaku nonton Film film romantic di netbookmu. Biasanya meskipun aku tidak pernah benar benar mimilikimu, minimal kamu tidak pernah berfikir untuk melepasku. Aku sangat merindukan kebiasaan kebiasaan itu ,sungguh!!
             “ Sekarang Ibu tau semuanya,   Maaf kerena aku tidak bisa mempertahankan kesamaan diantara kita lagi”
Itu juga kalimatmu, Masih sangat terngiang diotaku.  Jika sudah begitu apa yang bisa kuucapkan untuk menahanmu? Kamu lalu pergi dengan diiringi seisak tangis.
 Kamu telah memvonis untuk merobohkan benteng yang kita bangun bersama  dan  aku tidak bisa mencegah hatiku untuk tetap meratapi puing puingnya.Rasanya terlalu sakit untuk melihat kehancuran kepercayaan kita tapi apa yang bisa kuperbuat untuk membangunya seorang diri.
Dulu, kamu membimbingku melewati pesimpangan dan menepi pada Hati tanpa memikirkan logika, siapa yang peduli apa kata dunia?  Kita membangun dunia kita sendiri. Dunia tanpa diferensiasi. Tapi kini demi melihat Ibumu tetap di dunia nyata, Kamu menghapus dunia kita .
Ibumu tetap Ibumu, Seorang yang terhormat dan mulia. Aku tetap aku, Aku menghirup udara dirumah yang sama denganmu  tapi kini harus menerima realita bahwa aku tidak halal bagimu.  
*****

Sekarang senja telah lelap dalam pelukan sang  malamsemilir angin menusuk nusuk kulit dan hati . Tapi aku masih disini di Gazebo ini, Di tempat yang dulunya adalah dunia kita, bukan duniaku sendiri. Masih bermimpi kamu akan datang  menikmati Cappuchino yang sekarang sudah dingin tapi tidak sedingin hatiku setelah kepergianmu.
“ Hanya karena aku tidak mengimani apa yang kamu yakini, Kenapa kita tidak bisa sama lagi? Jika Tuhan enggan menyelamatkanku kenapa ia begitu baik menciptakanku? Hanya karena aku tidak berada dirumahNYA? Bukankah IA tahu aku kedinginan diluar sini. ”
Kamu, kamu sudah pergi melewati jalan yang seharusnya mengantarmu ke Surga,Jika nanti kamu tersesat, kembalilah aku tetap di dunia kita dulu, dunia diman kita menganut cinta sebagai agama.
****


 By : Rere
           
           

           

Kamis, 08 Desember 2011

Hanya Rasa

by:Alfi Sina Vinci

Aku buta
Mataku bersemu kabut halus menutupiku
Aku buta
Dalam gulita aku memaksa mencari raga yang ku tuju
Aku buta
Aku tak tau kemana kini haluanku

Aku tuli
Di tengah ramainya aku hanya bisa menyepi
Aku tuli
Dalam damai aku menanti jiwa kanda yang setia berlari
Aku tuli
Antara nasihat disini tak ku dengar tak ku raih

Aku bisu
Lidahku tak mampu mengecap tak mampu mengucap
Aku bisu
Bibirku beku berkata padamu
Aku bisu
Aku tak bisa mengucapkan kata itu

Hanya rasa
Hanya rasa yang kuasai hatiku
Hanya rasa yang rajai benakku
Hanya rasa yang bisa ku serahkan
Hanya rasa yang bisa kau anutkan
Hanya rasa itu...

Cinta


November 2011, dalam kerut pikiran setiap pengemis

Sabtu, 29 Oktober 2011

for him

            Hari sudah gelap, burung-burung berhenti bernyanyi hingga matahari datang lagi esok hari. Bulan sabit tersenyum di antara jutaan bintang di langit malam. Awan pun mengumpat di balik indahnya langit. Sementara itu, seorang gadis yang duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama itu sedang terlamun di bibir jendela kamarnya, memandangi alam di suasana malam.
            “Tuhan, kirimkan seseorang yang mencintaiMu, aku dan keluargaku dengan tulus..” pinta Dela di tengah keheningan malam. Tak lama kemudian, sebuah panggilan SMS berdering tanpa nama. “Nomer siapa nih?” tanya Dela dalam hati.
            Delaaaa... ini gue Yudha. Save ya nomer gue. hehehe..
            Dela segera membalas SMS Yudha, teman satu sekolahnya, dengan perasaan campur aduk. “Hai, Yud. Oke sip. Hehehe..
            Hehehe. Lagi apa lo?  Sorry ya gue SMS lo malem-malem. Baru ada pulsa buat SMS lo nih. Hehehe..
            Gapapa kok, Yud. Kebetulan gue lagi ga ada kerjaan. Cuma lagi ngelihat bulan sabit aja. Hahaha..
            Loh? Emang kenapa dengan bulan sabit?
            Menurut gue sih, kalo kita lagi jatuh cinta, lihat bulan sabit, maka orang yang kita cintai akan tersenyum ngelihat kita. Itu kalo menurut gue.
            Semenjak itu, pembicaraan di antara mereka terus terjalin dengan baik. Semakin lama mereka pun menjadi akrab. Setiap hari, Yudha selalu memberikan perhatian yang lebih kepada Dela.
            Keakraban yang terjalin kurang dari setahun itu ternyata menjadikan mereka semakin nyambung satu sama lain. Sehari saja Dela tidak SMS Yudha, ia merasa ada yang kurang. Begitu juga sebaliknya.
***
            Hingga pada suatu sore, ketika pulang sekolah, Yudha datang ke kelas Dela. Dela yang sedang asik menyapu kelasnya bersama tiga orang temannya pun merasa terkejut dengan kedatangan Yudha yang langsung menghampirinya.
            De..Dela...,” ucapan Yudha terbata-bata.
            Dela menghentikan sejenak bersih-bersihnya. “Kenapa, Yud?”
            Ada yang mau gue omongin sama lo. Boleh ngobrol sebentar nggak?
            Yah tanggung nih, Yud. Bentar ya.
            Iya.
            Setelah Dela selesai menyapu ruang kelasnya, Yudha pun menghampirinya lagi.
            Udah kan?” tanya Yudha.
            Udah kok. Oh iya, tadi lo mau ngomong apa?”
            Del, kita kan udah lama kenal. Gue...,”
            Iya, lo kenapa?”
            Gue suka sama lo...”
            Mendengar ucapan Yudha itu, perasaan Dela makin tidak menentu. Kepalanya menunduk. “Gue juga suka sama lo, Yud.” ucapnya dalam hati.
            Del, lo mau nggak jadi pacar gue?”
            Dela menatap Yudha dengan heran. Ia melihat cinta di mata Yudha.
            Del, jawab dong. Jangan diem aja.”
            Eh... iya.”
            Iya apa?”
            Hmm... gue mau kok jadi pacar lo, Yudha.”
            Serius?”
            Iya.”
            Keduanya tersenyum.
            Makasih ya. Yuk kita pulang, udah sore nih.” Yudha menggandeng tangan Dela.
            Iya.” Dela berjalan di samping Yudha dengan perasaan lega. Orang yang selama ini ia cintai, ternyata juga mencintainya.
***
            Hari berlalu seiring bergantinya malam dan kembalinya siang.
            Dua bulan sudah, Dela dan Yudha menjalin cinta. Cinta Dela pun semakin dalam, begitu juga Yudha.
            Pada suatu pagi, Dela bertemu dengan Yudha di kantin sekolah.
            Yudha!”
            Yudha segera menghampiri Dela, pacarnya.
            Kenapa, Del?”
            Sebentar lagi kan ada try out. Lo mau nggak kita bersaing sehat biar bisa dapet nilai yang paling tinggi di sekolah ini?”
            Wah...boleh juga tuh! Kalo nilai gue lebih kecil dari lo, gimana?”
            Hmm...gini deh. Siapa yang nilainya lebih besar di antara kita berdua, yang kalah harus dikasih hukuman.”
            Apa hukumannya?”
            Yang kalah harus ngasih sesuatu sama yang menang. Gimana?”
            Oke, deal!”
            Selamat berjuang ya, Yud!”
            Itulah cara Dela mencintai orang lain. Ia ingin selalu bersama dengan orang yang ia cintai, namun ia masih menghargai masa depan orang itu. “Gue mau kita berdua bisa sama-sama sukses, Yud.” ucapnya dalam hati.
***
            Try out tingkat SMP yang diadakan serempak seIndonesia baru saja selesai. Seluruh siswa-siswi menunggu hasil try out dengan cemas, terutama Dela.
            Seminggu kemudian, hasil try out diumumkan.
            Dela!”
            Hai, Yud. Gimana hasil try out lo?”
            Lumayan. Nih...” Yudha menunjukkan nilainya kepada Dela.
            Wah... bagus kok, Yud. Selamat ya!”
            Makasih. Pasti nilai lo lebih tinggi dari gue. lihat dooong!”
            Nih...” Dela menunjukkan nilainya kepada Yudha.
            Yee, ini sih lo yang lebih bagus daripada gue. berarti gue kalah dong? Yaaah...”
            Enggak kok, Yud. Lo tetap menang. Buktinya nilai lo nggak ada yang jelek kan?”
            Iya sih. Yaudah, tunggu hadiahnya yaa. Hehehe.
***
            Keesokan harinya, diam-diam Yudha menemui sahabat Dela, Fina.
            Fin, gue butuh bantuan lo nih.”
            Bantuan apa, Yud?”
            Gue mau ngasih sesuatu ke Dela. Tapi gue bingung mau ngasih apa. Lo pasti tau kan kesukaan Dela apa?”
            Hmm...setau gue sih dia suka Donald Duck.”
            Yakin nih?”
            Iya. Yakin kok.”
***
            Seminggu kemudian, Yudha memberikan sebuah boneka Donald Duck kesukaan Dela.
            Del, nih buat lo. Sebagai bukti kalo gue beneran sayang sama lo.”
            Dela hanya tersenyum. Ia tidak pernah merasakan perasaan yang senyaman ini sebelumnya.
            Makasih banyak ya, Yud.” Dela menerima hadiah dari Yudha. “Tanpa bukti materi pun, gue udah yakin cinta lo ke gue tulus kok, Yud.” sahutnya dalam hati.
***
            Empat bulan sudah Dela dan Yudha menjalani hubungan itu. Setiap masalah yang datang, mereka hadapi dengan kepala dingin. Meskipun Dela keras kepala, namun Yudha selalu mengingatkannya untuk bersabar. Sekali pun, Yudha tidak pernah memarahi atau hanya sekedar membentak Dela.  Dela pun semakin mengagumi ketulusan hati Yudha. Ia tidak pernah merasakan semua itu sebelumnya. Dela benar-benar sudah melupakan masa lalunya yang pahit dengan mantan pacarnya yang selalu menyakiti hatinya.
***
            Sebulan menjelang Ujian Nasional, Dela dan Yudha semakin meningkatkan belajarnya. Mereka tidak mau mengecewakan kedua orang tua mereka.
            Yud, sebentar lagi kan kita mau ujian. Gimana kalo kita lebih jaga jarak? Supaya kita nggak terganggu belajarnya satu sama lain.”
            Tapi kita nggak putus kan?”
            Dela tersenyum. “Enggak kok, Yud.”
            Hari demi hari menjelang ujian, Dela mulai merasa kehilangan Yudha. Meskipun Yudha bukan benar-benar pergi darinya. Setiap kali ia memegang handphonenya hanya untuk menghubungi Yudha, ia teringat dengan tujuan utamanya. Agar cita-cita dan masa depan ia dan Yudha tetap menjadi kenyataan. “Yud, gue kangen sama lo.” Dela memeluk boneka Donald Duck pemberian Yudha beberapa bulan lalu.
            Usai belajar untuk persiapan ujian nasional yang tinggal menghitung hari lagi, ia berdiri di balik jendela kamarnya sambil memandang langit malam. “Bulan sabit!” serunya dalam hati. “Semoga Yudha baik-baik aja. Semoga cita-cita lo terkabul. Aminnn..” pintanya pada Tuhan sambil menatap indahnya bulan sabit.
            Di tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan, Yudha sedang duduk di balkon rumahnya. Ia melihat terangnya bulan sabit. Ia teringat ucapan Dela, “kalo kita lagi jatuh cinta, lihat bulan sabit, maka orang yang kita cintai akan tersenyum ngelihat kita.” Yudha tersenyum sendiri mengingat ucapan Dela.
            Malam sudah larut dan dingin. Dela segera berbaring tidur dan berharap hari esok jauh lebih indah dari hari yang sebelumnya. Begitu juga dengan Yudha.
***
            Hari pertama ujian nasional akan dimulai hari ini.
            Pagi-pagi sekali Yudha sudah tiba di sekolah. Sementara Dela nyaris saja terlambat.
            Setibanya Dela di ruang kelas, ia melihat Yudha sedang ngobrol dengan teman-temannya. Dela sangat senang karena ia satu ruangan dengan Yudha. Ia ingin sekali menyapa Yudha, tapi ada perasaan canggung dalam dirinya.
            “Hai, Del. Lo baru dateng?” teriak Anis, teman seruangan Dela.
            “Eh, Anis. Iya nih. Kesiangan. Hehehe..” jawab Dela dengan langkah tergesa-gesa.
            Yudha tersenyum mendengar alasan Dela. Dela yang melihat Yudha pun jadi salah tingkah.
            “Kriiiiiiiiing.” bel masuk berbunyi. Menandakan ujian nasional segera dimulai.
            Empat hari ujian nasional berlangsung. Ada siswa yang merasa puas dengan jawaban mereka, ada pula yang kecewa meskipun ujian baru saja selesai dan belum diketahui hasilnya.
            Dela dan teman-temannya saling berdiskusi membahas soal ujian.
            Dela!” suara Yudha memanggil.
            Dela menoleh. “Yudha?” tanyanya sendiri dalam hati.
            Kenapa, Yud?”
            Gimana ujiannya?”
            Alhamdulillah nggak terlalu susah. Lo gimana?”
            Alhamdulillah juga. Eh iya, nanti sekolahnya mau nerusin kemana?”
            Insyaallah kalo dapet sih negeri. Lo dimana, Yud?”
            Gue disuruh di sekolah aliyah sama bokap gue. Gue nggak boleh sekolah di umum.”
            Mendengar ucapan Yudha, Dela seperti harus merelakan orang yang ia cintai jauh darinya. Ia hanya diam. Membayangkan kalau nanti ia akan jauh dari orang yang benar-benar mengerti hatinya. Ia hanya menunduk.
            Del... lo kenapa? Kok diem?
            Gapapa kok, Yud. Eh, gue pulang duluan ya. Bye!”
            Yudha heran melihat tingkah Dela. Ia hanya bisa bertanya dalam hati, “Apa ada yang salah dengan ucapan gue?”
            Malam harinya, Yudha menelfon Dela. Tapi Dela tidak mau mengangkat telfon dari Yudha.
            Yudha pun mengirim SMS untuk Dela, “Del, lo kenapa sih? Gue salah ngomong ya? Kalo karena kita nggak bisa satu sekolah lagi, kita kan bisa ngomongin baik-baik. Jangan marah yaa.”
            Mau ngomong. Tapi janji nggak marah ya?” balas Dela.
            Tanpa berpikir lama lagi, Yudha segera menelfon Dela.
            Hallo...
            Yudha...,
            Iya, Del. Lo kenapa? Kalo gue ada slah ngomong, lo bilang aja ya. Jangan ada yang dipendam, oke?”
            Gue takut...,
            Takut kenapa?”
            Gue takut kehilangan lo, Yud. Gue nggak mau jauh dari lo. Gue..., gue takut kalo nanti lo sayang sama orang lain selain gue.” suara Dela terasa berat.
            Yudha menghela nafas. Ia segera melanjutkan pembicaraan, “Del, meskipun kita beda sekolah, kita kan masih bisa komunikasi. Gue juga nggak mau jauh dari lo. Kita kan bisa ketemu kalo hari libur.”
            Kalo lo suka sama orang lain di sekolah lo nanti, gimana?”
            Del, itu nggak mungkin! Kalopun iya, gue juga nggak bakal bisa ngelupain lo. Gue juga nggak mungkin bisa nyari pengganti lo.
            Janji?”
            “Iya, sayaaang. Udah yaa. Jangan bahas in lagi. oke?”
            Iya.”
            Hubungan mereka pun kembali membaik dan berjalan seperti biasanya lagi.
***
            Sebulan setelah pengumuman kelulusan, seluruh siswa yang dinyatakan lulus ujian nasional tingkat SMP, akan melanjutkan pendidikan di SMA pilihan mereka. Dela dan Yudha pun harus menjalani hubungan jarak jauh karena berbeda sekolah. Itulah yang menjadi kekhawatiran Dela dalam suatu hubungan.
            Sudah beberapa hari di SMA masing-masing, Yudha belum juga memberi kabar kepada Dela. Dela terus dihantui rasa curiga. Ia benar-benar takut kalau saja nanti ada orang yang menggantikan posisinya di hati Yudha.
            Tak lama kemudian, Yudha mengirimkan SMS, “Delaaa, maaf banget ya baru sempet ngabarin. Gue baru beli pulsa nih. Hehehe. Lo lagi apa? Gimana di sekolah yang baru?”
            Baru saja Dela ingin membalas SMS Yudha, satu SMS lagi diterima dari nomer yang tidak dikenal. “Hai Delaaa... ini gue Diyo. Apa kabar lo? Kangen nih udah lama nggak ketemu dan SMSan sama lo.” Dela tersentak setelah mengetahui bahwa SMS itu adalah dari mantan pacarnya yang sudah menyakiti hatinya dulu.
            Entah apa yang merasuki pikiran Dela, hingga ia mau membalas SMS dari Diyo dan mengabaikan pesan Yudha. “Baik. Iya udah lama.” niat hatinya untuk membalas rasa sakit hatinya yang dulu pun muncul kembali.
            Satu pesan diterima!
             “Pasti dari Diyo!” ujarnya dalam hati.
            Ternyata dari Yudha! “Del, kok sms gue nggak dibales? Jangan marah yaa.”
            Dela yang sebenarnya sudah lama menunggu SMS dari Yudha, dengan mudahnya mengabaikan pesan Yudha, pacarnya. Niatnya semakin bulat untuk balas dendam kepada Diyo, orang yang dulu selalu menyakiti hatinya.
             Sikap Dela semakin berubah kepada Yudha seiring dengan kehadiran Diyo di antara mereka. Dela justru lebih mengutamakan untuk membalas pesan dari Diyo daripada pesan dari Yudha, orang yang sangat berarti di saat ia kecewa karena Diyo.
            Del, gue masih sayang sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue lagi?” sebuah pesan dari Diyo yang membuat Dela bingung harus berkata apa lagi. Hatinya pasti memilih Yudha.
            Gue udah punya pacar, Yo.”
            Lo kan bisa mutusin pacar lo. Dan nerima gue jadi pacar gue lagi.”
            Hati Dela terasa berat. Di satu sisi, ia ingin selalu bersama Yudah. Tapi di sisi lain, ia hanya ingin balas dendam kepada Diyo.
            Gue pikir-pikir dulu deh!” jawab Dela singkat.
            Gue tunggu sampe tanggal delapan Agustus ya!” balas Diyo.
***
            Tanggal delapan Agustus tinggal seminggu lagi. “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Dela memohon agar diberi petunjuk oleh Tuhan.
            Dalam mimpinya malam itu, Dela hanya melihat Yudha. Yudha yang benar-benar tulus mencintainya, bukan Diyo. Tapi hatinya masih terlalu sakit untuk memaafkan Diyo. Dela merasa harus membalas sakit hatinya itu.
            Lama kelamaan, Dela semakin tidak memerdulikan keberadaan Yudha. Yang ada di benaknya hanya untuk balas dendam kepada Diyo.
            “Oh My God! Besok itu kan tanggal enam Agustus ulang tahunnya Yudha! Ya Tuhaaan...apa yang harus aku lakukan?” gumamnya sendiri.
            Dela sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan dan siapa yang harus ia pilih.
            Keesokan harinya, ia memutuskan untuk menemui Yudha.
            Sore harinya, mereka pun bertemu. Dela tidak berani menatap mata Yudha. Hatinya tidak ingin bicara. Ia hanya ingin tetap seperti itu, bersama Yudha. Tapi niat dendamnya kepada Diyo lebih kuat daripada cintanya kepada Yudha saat itu.
            Dela hanya bisa berkata, “Selamat Ulang Tahun.” Tanpa apapun yang istimewa untuk orang yang selama ini mengistimewakannya. Tanpa senyuman, tanpa apapun yang membuat Yudha bahagia. Tanpa kejutan dan hadiah seperti yang Yudha berikn untuk Dela di hari ulang tahunnya. Meski begitu, Yudha masih bisa memberikan senyuman untuk Dela. Mungkin senyuman itu akan menjadi yang terakhir untuk ia berikan kepada Dela. Setelah benci dan sakit hati yang menguasai dua remaja itu.
            Keesokan harinya, Dela bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan Yudha yang sudah terjalin selama hampir enam bulan itu.
            Melalui pesan singkat, tanpa berpikir panjang, Dela mengirimkan sebuah pesan kepada Yudha, “Yud, kayaknya hubungan kita udah nggak cocok lagi deh. Mendingan udah sampe di sini aja ya.”
            Tak lama kemudian, Yudha menelfon Dela.
            Hallo, Del... lo kenapa ngomong kayak gitu?”
            Gue serius, Yud. Gue ngerasa hubungan ini udah nggak cocok lagi.”
            Tapi kenapa? Gue ada salah? Ngomong aja.”
            Enggak kok, Yud. Lo udah baik banget sama gue. tapi gue nggak bisa ngejalanin hubungan ini lagi. Tolong ngertiin gue kalo emang lo sayang sama gue.”
            Yudha hanya diam, ia membalas ucapan Dela cukup lama, “Oke, kalo itu mau lo.” Yudha pun menutun telfonnya.
            Setelah sadar dengan ucapannya, air mata Dela jatuh membasahi pipinya. Ia ingin menarik ucapannya tadi. Tapi ia tahu, Yudha sedang marah. Ia takut untuk sekedar minta maaf. Setiap hari Dela bernafas dengan rasa bersalah kepada Yudha. Ia terpaksa menjalani hubungan dengan Diyo hanya untuk melampiaskan dendamnya.
***
            Setahun sudah Dela berpisah dengan Yudha, mungkin tidak akan pernah bertemu kembali. Atau jika keajaiban datang suatu saat.
            Sedangkan Dela telah terbangun dari mimpi buruknya karena bertemu Diyo. Benar saja. Dela tidak sedikit pun bahagia dengan hubungannya bersama Diyo di atas dendam dan sakit hatinya dulu. Hingga dendamnya sudah terjadi. Kini Diyo merasakan yang ia lakukan terhadap Dela dulu.
            Setelah putus dengan Diyo, Dela menjalani hari-harinya dengan seperti biasa. Ia mencoba menghilangkan segala tentang Yudha, tapi hatinya berkata, “Semakin gue mencoba untuk ngelupain lo, justru semua tentang lo semakin gue ingat.”
            Hati kecilnya begitu sangat ingin bertemu Yudha. Hanya untuk berkata, “Please, forgive me...” Atau sekedar bersyair,
I wish i could just make you turn around, and see me cry. There’s so much i need to say to you. So many reasons why you’re the only one, who really knew me at all.
            Dela tahu benar hati Yudha yang teguh pendiriannya. Ia tidak ingin memaksakan Yudha untuk mencintainya lagi. Hanya saja ia belum bisa melepaskan jika sekarang sudah ada yang lain di hati Yudha. Hanya saja ia belum sanggup menyingkirkan semua kenangannya bersama Yudha. Mungkin dengan doa, semoga Yudha benar memaafkannya. Walaupun ia harus menerima, jika saja Yudha tidak ingin lagi bertemu dengannya.
            Dan mungkin setelah ini, Dela akan tenang tanpa ada perasaan bersalah dalam hidupnya lagi. Ia berharap Yudha akan menemukan semangat baru untuk hari ini dan selamanya demi melanjutkan keinginan Dela yang belum terpenuhi, yaitu melihat Yudha berdiri tegar demi cita-cita dan masa depannya. Meski dalam hati kecilnya, ia masih membutuhkan sosok Yudha dalam kesehariannya.

**************************************
J Selasa, 31 Mei 2011 J


Oleh : diandyni